Pengantar

Sebelumnya, saya telah membuat tulisan tentang kriteria memilih pemimpin di Pemilu 2024. Tulisan ini ditujukan kepada saya sendiri. Entah apakah ada pembaca yang membaca tulisan saya karena saya sama sekali tidak memasang fitur pelacak (analytics) untuk mengetahui berapa jumlah pembaca yang membaca tulisan-tulisan saya. Semua tulisan yang ada di blog ini adalah hasil dari pertentangan batin antara saya dengan dunia, hasil stres saya yang mesti dituangkan dalam bentuk tulisan.

Bila kamu sedang stres dan kamu sulit menceritakannya kepada siapapun secara lisan maka tulisan adalah jalan terakhir untuk menuangkan stres kamu. Dari tulisanlah, kamu akan belajar menuangkan kata demi kata, mengganti kata demi kata, hingga kerangka berpikirmu terstruktur rapi.

Politik, Pemilu, dan Bapak

Pemilu pertama saya adalah pemilu di tahun 2014. Saat itu saya berusia 19 tahun. Bapak (almarhum) mengajarkan saya tentang demokrasi, politik, dan idealisme. Jadi, kalau saya sedang buntu tentang memilih pemimpin dan calon legislatif maka saya bertanya ke bapak. Kadang bapak langsung memberikan jawaban berupa nama calon tanpa memberikan alasan. Kadang pula bapak memberi saya pernyataan nyelekit tentang situasi berpolitik di negara Indonesia. Tidak semua apa yang bapak sampaikan ke saya selalu saya setuju 100 persen.

Sebuah bocoran, bapak adalah pendukung PDI Perjuangan dan tidak suka dengan pemikiran Rocky Gerung yang selalu mengkritisi kebijakan Jokowi sebagai presiden sejak tahun 2014. Suatu ketika, saya menonton video tentang Rocky Gerung yang mengkritik kebijakan Jokowi yang buruk dan tidak sengaja didengar oleh bapak. Lalu, bapak ngomel dan minta saya untuk berhenti menonton video tersebut. Saya manut-manut saja karena saya juga tidak ambil pusing terhadap kebijakan Jokowi saat itu. Karena apa yang saya lihat di media saat itu adalah kebijakan pembangunan yang dilakukan oleh Jokowi itu bagus. Ingat ya! Saat itu!

Bapak juga pernah bilang ke saya kira-kira seperti ini: “Na, kamu itu harus tahu! Jokowi itu adalah presiden yang benar-benar bisa meredam semua kekacauan di pemerintahannya!”. Awalnya saya tidak mengerti dengan ucapan bapak. Namun, sekarang saya mengerti apa maksud dibalik ucapan bapak. Apa yang dimaksud bapak dengan “Jokowi benar-benar bisa meredam semua kekacauan di pemerintahannya” adalah negosiasi Jokowi dengan oposisinya dalam bentuk membagikan kue-kue kekuasaan. Sehingga di era Presiden Jokowi tidak ada posisi oposisi. Apakah ini baik atau buruk? Menurut saya, ini buruk. Kenapa? Karena Indonesia menganut sistem politik demokrasi yang mana di dalamnya selalu ada pihak koalisi (pro) dan oposisi (kontra). Fungsi dari oposisi pada demokrasi adalah sebagai mengkritik pihak koalisi apabila ada hal-hal yang bertentangan dengan nalar, moral, dan etika yang mengakibatkan kerugian pada rakyat. Anehnya, nama negara ini adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ada kata Republik di dalam nama negara ini sedangkan sistem politik yang kita anut adalah Demokrasi.

Bila bapak saya adalah seorang pendukung PDI Perjuangan, apakah saya otomatis adalah pendukung PDI Perjuangan? Jawabannya tidak! Ada satu hal yang membuat saya risih dengan PDI Perjuangan yaitu sikap narsisme Ibu Megawati Soekarnoputri. Narsis ini bukan dalam artian sepenuhnya buruk, saya hanya level risih saja dengan sikap narsisme beliau. Terlepas dari sikap narsisme beliau, ada satu hal yang perlu saya apresiasi dari Ibu Megawati selaku ketua partai PDI Perjuangan yaitu oposisi. Walaupun PDI Perjuangan adalah partai pemenang yang mendukung Jokowi sebagai presiden, mereka tetap konsisten dengan aturan hukum yang paling dasar yaitu konstitusi. Saya pikir, pembaca sudah pernah melihat berita berseliweran bahwa Jokowi pernah meminta penambahan periode menjabat sebagai kepala negara di tahun 2021 karena alasan pandemi dan infrastruktur yang belum selesai. Jokowi bilang tidak ada wacana seperti itu. Namun, ada satu teori liar yang beredar bahwa apa yang diucapkan Jokowi umumnya adalah berbanding terbalik dengan kenyataan. Teori ini memiliki keakuratan sebesar 80 hingga 90 persen. Saya berusaha meyakini bahwa PDI Perjuangan tetap berada dalam garis terdepan mempertahankan konstitusi dan berada dalam posisi oposisi ketika ada pihak yang melanggar konstitusi.

Pergi ke TPS

Sekarang saya ingin bercerita tentang Pemilu di tahun 2024. Ini adalah pemilu ketiga yang saya ikuti dan kali ini saya memilih pemimpin dan wakil rakyat di rumah saya, Nusa Dua. Dua pemilu sebelumnya saya memilih pemimpin dan wakil rakyat di kampung Blahbatuh, Gianyar. Pagi ini, saya beserta ibu dan kedua adik saya mengenakan pakaian yang di dominasi warna hitam dan putih. Warna ini adalah warna yang dipilih oleh ibu saya. Ibu saya asal memilih warna itu dan waktu itu saya tidak mau ganti pakaian dan ingin memakai pakaian yang saya pakai saat tidur malam hari. Karena ibu memaksa, akhirnya saya pakai saja. Saya sudah terbiasa dengan warna pakaian hitam sejak remaja. Saya harus berterima kasih kepada ibu saya telah memilih pakaian warna hitam putih. Karena saya melihat berita bahwa menteri-menteri yang saya banggakan dari kalangan profesional menggunakan pakaian hitam putih di Pemilu 2024.

Kembali ke cerita! Sekitar jam 08.30 WITA, kami berempat berangkat ke TPS dekat lapangan rumah yang jaraknya cuma ratusan meter. Saya berinisiatif ingin jalan kaki karena hampir seminggu saya bolong berolahraga. Namun, ibu dan kedua adik saya memaksa untuk naik motor agar cepat sampai di TPS dan pulang juga lebih cepat karena adik laki-laki hari ini kerja. Kami sampai di TPS dan mendapat nomor antrian 11, 12, 13, dan 14. Antrian 11 adalah saya, 12 adalah adik laki-laki, 13 adalah adik perempuan, dan 14 adalah ibu.

Sembari menunggu, kami melihat-lihat daftar caleg dan partai-partai yang akan muncul di kertas suara. Ibu saya sembari melihat-lihat dan memberi nasihat-nasihat kecil ke kedua adik saya untuk memilih pemimpin dan caleg. Walaupun, saya dengar ibu sedikit mengarahkan namun ibu tetap menyerahkan kembali ke mereka karena keputusan ada di tangan mereka. Saya yakin sekali pilihan pemimpin yang akan dipilih oleh kedua adik saya bakal berbeda dengan saya. Namun, saya tidak mau tahu dan tidak mau mencela keputusan mereka. Itu hak mereka. Setidaknya mereka pasti sudah dipapar oleh media sosial dan mereka harus menggunakan nalar mereka untuk melihat apa yang terjadi di lapangan.

Pilihan Saya

Ada empat surat suara yang diberikan ke saya. Pertama, surat suara capres dan cawapres. Kedua, surat suara DPR. Ketiga, surat suara DPD. Keempat, surat suara DPRD. Saya berterima kasih kepada petugas TPS di tempat saya karena sebelum saya masuk ke bilik suara, mereka membuka lembar-lembar surat suara dan menunjukkannya ke saya bahwa surat-surat tersebut belum dicoblos. Kalau ini tidak dilakukan maka ketika saya masuk ke bilik suara dan baru buka surat di sana ternyata sudah dicoblos… Wah, yang benar aja!? Rugi dong! Hahahaha.

Pertanyaan utama, siapa pemimpin yang saya pilih di TPS? Jawaban singkat adalah pemimpin yang saya pilih bukan paslon nomor dua. Jawaban panjang alasan saya tidak memilih paslon tersebut ada di tulisan saya sebelumnya. Saya harus memberikan pernyataan tambahan terkait sikap saya ini. Saya cukup hormat terhadap Pak Prabowo terlepas kasus kelam yang berada di bayang-bayang dirinya. Beliau tetap gigih mencalonkan diri sebagai calon presiden dari tahun 2014 hingga sekarang. Namun, saya kecewa ketika beliau mengangkat Gibran sebagai calon presidennya karena alasan elektoral (mendongkrak suara). Kenapa saya kecewa? Karena Gibran belum matang secara berpolitik dan bernegara. Gibran baru menjabat sebagai walikota selama dua tahun dan itupun masih berlangsung. Walaupun Gibran (mungkin) meng-klaim bahwa dirinya sudah matang tetapi menurut saya itu belum cukup. Bila Gibran matang secara berpolitik maka mestinya Gibran menolak ikut kontestasi pemilu ketika MK mengubah aturan persyaratan capres dan cawapres. Berikutnya, sikap Gibran saat berdebat dengan lawan debatnya yang membuat saya geram. Kalau saja, saat itu tidak ada perubahan aturan dari MK maka mungkin calon wakil presiden dari Pak Prabowo tentu berbeda dan rakyat akan menghendaki bahwa Pemilu tahun 2024 cukup adil.

Pertanyaan kedua, siapa calon legislatif yang saya pilih? Saya tidak memilih spesifik nama calon legislatif. Saya memilih calon legislatif berdasarkan partai dan partai yang saya pilih bukanlah PDI Perjuangan. Kenapa? Karena saya yakin pasti PDI Perjuangan tetap dapat suara yang cukup banyak tahun ini. Saya memilih calon legislatif dari partai yang tidak berafiliasi dari paslon pertama, kedua, dan ketiga. Saya ingin mencoba warna baru.

Politik 101

Hasil perhitungan cepat telah keluar. Paslon nomor 2, Prabowo dan Gibran telah mengungguli paslon-paslon lain dengan persentase di atas 55 persen. Awalnya, saya terkejut, pertentangan pikiran terjadi dalam diri saya. Namun, saya diingatkan kembali oleh teman-teman bahwa itulah politik. Politik adalah ilmu yang digunakan untuk memperoleh kekuasaan. Segala macam carapun digunakan untuk memperoleh kekuasaan. Sekarang pertanyaannya, apakah kekuasaan yang diperoleh itu benar-benar berasa manis atau hambar? Apakah kekuasaan yang diperoleh itu benar-benar terhormat? Hanya paslon nomor 2 yang tahu jawabannya.

Tentu pengaruh kemenangan paslon nomor 2 tidak terlepas dari figur Jokowi sebagai kepala negara. Banyak berita yang beredar bahwa Jokowi mendukung paslon nomor 2 walaupun Jokowi tidak memberikan pernyataan resmi. Sekarang, siapa yang membuat sikap Jokowi seperti ini? Apakah akibat dari Ibu Mega? Apakah akibat dari PDI Perjuangan? Ini akibat dari kita, rakyat Indonesia yang selalu permisif terhadap kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh Jokowi seperti kata Zainal Arifin Mochtar.

Apakah politik itu kotor?

Saya ingat pertanyaan itu saat Deddy Corbuzier menanyakan itu ke Cak Lontong. Jawaban dari Cak Lontong seperti ini.

Politik itu tidak kotor karena politik itu adalah ilmu. Yang membuat politik menjadi kotor adalah orangnya.

Saya juga teringat dengan pernyataan Danilla Riyadi tentang politik. Kira-kira seperti ini.

Semua orang di dunia ini bermain politik namun di level-level yang berbeda.

Saya ingin menambahkan sedikit tentang politik.

Politik adalah ilmu untuk memperoleh kekuasaan. Segala cara dipakai untuk mencapai kekuasaan termasuk cara kotor sekalipun. Sekarang, kamu sebagai manusia berakal budhi harus bisa menakar seberapa kotor yang harus kamu gunakan untuk memperoleh kekuasaan. Sehingga kekuasaan yang kamu peroleh tidaklah hambar.

Saya senang hari ini saya menggunakan hak pilih saya sebagai pemilih sehingga saya bisa secara langsung memberikan pilihan terhadap pemimpin dan wakil rakyat yang kelak akan memimpin negara ini. Ini lebih baik daripada saya tidak memakai hak pilih saya sama sekali. Saya senang dan puas!

Ini adalah awal mula saya untuk belajar berpolitik diiringi dengan etika dan moral. Karena tanpa etika dan moral hidup manusia menjadi liar.

Penutup

Bila hasil real count telah keluar dan KPU telah menyatakan bahwa paslon nomor 2 adalah pemenang yang sah secara elektoral, apakah bisa digugat? Bisa. Apakah mungkin hasil gugatan berupa bahwa paslon nomor 2 didiskualifikasi karena melanggar etika moral hukum dan telah melakukan kecurangan jauh sebelum pemilu di mulai? Saya tidak tahu karena belum ada yang memulai gugatan itu sejak tulisan ini dibuat. Saya membayangkan dua skenario yang akan terjadi.

Pertama, hasil gugatan menyatakan bahwa paslon nomor 2 tetap sah dan resmi menjadi presiden dan wakil presiden. Ini menandakan bahwa sistem berpolitik di Indonesia masih diam di tempat atau mungkin turun 3 tangga. Lalu, sejarah mencatat bahwa pemilihan pemimpin di Indonesia pada tahun 2024 tidak ada keseimbangan antara moral dan elektoral. Sejarah juga mencatat bahwa hukum tanpa etika akan membuat manusia menjadi liar.

Kedua, hasil gugatan menyatakan bahwa paslon nomor 2 didiskualifikasi sehingga terjadi pemilihan ulang antara paslon nomor 1 dan 3. Ini menandakan bahwa sistem berpolitik di Indonesia sudah menunjukkan kemajuan yang signifikan. Usul saya bila ini terjadi maka yang perlu dilakukan antara lain:

  • Mengubah threshold dari 20% menjadi 0% sehingga pihak manapun berhak mengajukan banyak calon pemimpin. Bahkan lebih bagus bila calon-calon didapatkan dari setiap provinsi dan disaring dalam debat.
  • Menghapus putusan nomor 90 dari Mahkamah Konstitusi.
  • Membuat aturan berupa larangan membagikan bansos dan BLT kepada masyarakat saat kegiatan pemilu berlangsung hingga selesai.
  • Mengubah format debat capres dan cawapres. Tidak ada pembacaan amplop pertanyaan. Pertanyaan dilontarkan dari penanya dari bidang terkait secara spontan sehingga kita bisa menguji isi kepala dari calon pemimpin kita. Berikan durasi maksimal 30 menit untuk berdebat saat menjawab pertanyaan untuk keseluruhan paslon.