Saya beragama Hindu dan tinggal di Bali. Saya memperoleh agama ini dari kedua orang tua saya dan agama ini tertera di KTP saya. Saya berpikir apakah saya tidak bisa memilih agama yang saya ingin anut saat saya dewasa? Kenapa harus mengikuti kedua orang tua saya? Di negara saya, Indonesia, selain agama Hindu ada agama Islam, Katolik, Kristen, Buddha, dan Kong Hu Cu. Ini adalah agama-agama yang resmi diakui oleh pemerintah di Indonesia. Kalau saya berandai-andai pasti ada sangat banyak jumlah agama yang tidak diakui secara resmi oleh pemerintah di Indonesia. Kenapa? Karena Indonesia adalah negara kepulauan yang dipisahkan oleh lautan yang jumlah pulaunya lebih dari 10 ribu pulau.

Saya ingin kembali ke pernyataan saya di awal.

Saya berpikir apakah saya tidak bisa memilih agama yang saya ingin anut saat saya dewasa? Kenapa harus mengikuti kedua orang tua saya?

Ada rasa frustrasi yang saya rasakan sebagai orang yang menganut kepercayaan Hindu di Bali. Frustrasi ini berkaitan dengan ekonomi dan psikologi. Entah kapan rasa frustrasi ini muncul. Tetapi, puncak frustrasi saya terjadi pada tahun ini dan hari ini. Saya pikir jika saya menuliskannya di sini maka isi pikiran dan emosi saya bisa tertata rapi.

Saya mulai dari sisi ekonomi. Saat umat Hindu di Bali bersembahyang, mereka menggunakan dua sarana yaitu canang dan dupa. Di rumah saya, ada sekitar 12 titik untuk dihaturkan canang dan dupa. Dua belas titik ini ditaruh jumlah canang yang berbeda. Alasan jumlah canangnya berbeda bisa karena memang asalnya seperti itu dan intuisi. Setiap hari, ibu saya membeli satu tas canang seharga 20 ribu sampai 25 ribu. Isi canang kadang bisa 25 hingga 30 biji dan tergantung kebutuhan. Setiap Senin dan Jum’at saya mengambil canang dari tas itu untuk sembahyang di tempat kerja saya. Kadang jumlah canang yang dibeli bisa cukup banyak saat hari raya besar seperti Galungan, Kuningan, dan Nyepi. Anggap saja ibu saya membeli dua tas canang saat hari raya. Jadi, biayanya bisa mencapai 50 ribu. Itu belum termasuk alat pendukung upacara hari raya besar yang harganya bisa mencapai 100 hingga 300 ribu.

Awalnya saya menganggap hal itu wajar dan biasa-biasa saja. Tetapi, semenjak bapak tiada, saya dan adik laki-laki saya membantu uang dapur di rumah, saya jadi khawatir, waspada, dan kesal. Ada dua pertanyaan yang menggema di kepala saya.

Kenapa biaya upacara di Hindu di Bali begitu mahal?

Apakah Tuhan di agama saya memaksakan umatnya untuk melakukan pemujaan dengan biaya yang mahal?

Kemudian, dari dua pertanyaan ini muncul pertanyaan menggema berikutnya.

Apakah melakukan pemujaan kepada Tuhan dengan menggunakan biaya yang mahal, membuat saya bahagia selaku umat beragama?

Ya, saya dan adik laki-laki saya adalah generasi Sandwich. Tetapi, saya yakin saya dan adik saya bisa lepas dari generasi ini!

Saya melakukan eksperimen kecil pada diri saya sendiri selama satu hingga dua minggu terakhir. Eksperimen kecil yang saya lakukan seperti ini:

  1. Saya tidak membawa canang ke kantor.
  2. Saya tidak sembahyang di rumah dan di kantor.

Tujuannya sederhana, saya meragukan apakah Tuhan itu benar-benar ada dan mencoba menjadi ateis dengan tanda kutip. Jika selama satu hingga dua minggu terakhir tersebut saya mengalami kecelakaan atau kematian berarti Tuhan marah pada saya!

Ini terkesan seperti sebuah sikap arogansi, penghujatan kepada Tuhan dan berpikir bahwa saya adalah Tuhan. Bahkan saya sampai berceloteh kurang ajar kepada teman saya, Teo di grup Telegram.

Apakah ada sesuatu yang melampaui Ketuhanan Yang Maha Esa?

Ya, benar-benar sebuah sikap arogansi dan penghujatan kepada Tuhan.

Anda tahu apa yang terjadi pada saya setelahnya? Saat saya sampai di rumah dan di kantor dengan selamat, saya berterima kasih kepada Tuhan karena Ia telah melindungi saya di jalan raya. Pasti ada momen di mana ada kemacetan, pengemudi yang ugal-ugalan yang mungkin bisa menyebabkan kita celaka. Ada momen di mana tiba-tiba saya rem mendadak di jalan raya karena mobil berhenti mendadak dan untungnya tidak terjadi kecelakaan. Ada momen di mana saat saya mengantuk di jalan dan syukurnya tidak ada kendaraan di depan ataupun menyalip saya. Menurut saya ini adalah sebuah momen bahwa saya dilindungi oleh Tuhan dan alam semesta.

Setiap saya berangkat, ibu saya mengingatkan saya ke sanggah dan tugu karang untuk berdoa agar saya selamat di perjalanan. Kadang saya melakukannya dan kadang tidak. Namun, bukan berarti ketika di jalan raya saya tidak melakukannya. Bahkan sebelum saya ke sanggah ataupun ke tugu karang pun saya berdoa agar saya tetap selamat dan utuh di perjalanan berangkat dan pulang.

Dari sini saya belajar satu hal bahwa Tuhan tidak meminta pemujaan yang mahal dan kontrak niskala yang membuat umatnya menderita. Tuhan hanya meminta agar umatnya mengingat-Nya sebagai entitas yang harus disyukuri dan dijaga seperti kita hidup di dunia ini, hari ini esok dan seterusnya (lirik Doraemon).

Ya, lirik barusan adalah nyanyian dari penutup episode Doraemon di RCTI. Sederhana namun bermakna.

Justru umatnyalah yang memaksakan diri untuk melakukan pemujaan yang mahal dan bahkan membuat kontrak niskala yang kadang tidak bisa ditepati yang membuat Tuhan kesal dan marah kepada umat-Nya. Begitulah aspek psikologi yang saya rasakan.

Ada satu aspek tambahan yang harus saya bahas yaitu aspek lingkungan. Kalau umat agama Hindu di Bali sembahyang menggunakan canang setiap hari apalagi ketika saat ada hari raya besar, saya yakin jumlah sampah dari penggunaan canang akan bertambah besar bahkan sangat besar. Walaupun canang dibuat dari bahan organik namun butuh waktu agar bahan organik ini terurai dan menyatu dengan alam. Jadi, siasat saya adalah saat saya sembahyang, saya hanya mengambil sebagian bunga dari canang.

Sekarang rasa frustrasi saya sudah reda dan apa yang ada di kepala saya sudah saya sampaikan di tulisan ini. Walaupun sebagian ilmuan beranggapan bahwa Tuhan itu tidak ada tetapi saya tidak mau memikirkan lagi dengan serius apakah Tuhan itu ada atau tidak. Saya meyakini bahwa Tuhan itu ada. Ia melindungi saya dengan cara-Nya dan saya bersyukur kepada-Nya dengan cara saya.