Mama. Sosok yang kami bertiga panggil sebagai ibu kini telah tiada di tanggal 7 April 2025. Saya belum siap menceritakan kronologi mama meninggal di blog ini. Karena banyak sekali penyesalan, momentum yang terlewatkan, hal-hal yang semestinya bisa dicegah namun akhirnya tidak bisa dihindari. Saya selalu belajar dari film ataupun serial kartun bahwa takdir bisa dilawan. Takdir mama untuk meninggal di tahun ini bisa dilawan. Namun, kali ini gagal.
Mama sudah diaben/dikremasi tanggal 14 April 2025 dan semua acara sudah selesai. Keluarga, tetangga, kerabat mama berdatangan ke rumah besar bapak kami. Mulai dari doa, ucapan, petuah-petuah, hingga bantuan materialpun diberikan kepada kami. Sampai hari ini mungkin bukan cuma saya saja yang berpikir bahwa ini tidak nyata. Kedua adik saya pun pasti berpikir hal yang serupa namun mereka tidak mengatakannya. Orang-orang terdekat mama juga demikian. Mereka mengalihkan kesedihan tersebut dalam bentuk hal-hal lain yang membuat mereka terhibur agar tidak berlarut-larut dalam kesedihan.
Saya berpikir bahwa saat mama tiba-tiba tak sadarkan diri di hari Jum’at tanggal 4 April 2025 di tengah malam itu, mama pasti kaget dan mungkin menyesal. Mama mungkin menyesal karena masih banyak hal yang belum diselesaikan. Kami bertigapun juga sama. Kami menyesal karena tidak bisa menyelamatkan mama lebih cepat dan sebagainya. Kemarin malam, saya berdoa dan berkata.
“Mama, Na tahu mama punya penyesalan yang ingin mama selesaikan. Namun, karena mama sudah tiada maka tolong lepaskan semua penyesalan itu. Hal-hal yang mama ajarkan pasti akan kami gunakan. Na tahu mama masih menyesal karena belum selesai membimbing kami khususnya Dyah. Kali ini, biar kami yang menanggung penyesalan itu. Sama seperti bapak (almarhum) yang menyesal sebelum akhir hayatnya di tahun 2021 karena belum selesai membimbing kami khususnya Dyah. Maka dari itu, biar kami yang menanggung penyesalan itu. Kami harus bisa!”
“Mama. Mama mungkin masih ingat saat mama terbaring sakit setelah muntah-muntah keesokan harinya, Na bergurau bilang kalau mama meninggal maka Na akan segera menyusul beserta adik-adik dengan cara ekstrim: membakar rumah ini dan kami terbakar bersama dalam rumah ini. Namun kali ini gurauan itu tidak bisa dimaafkan dan diampuni. Kalau kami lakukan itu maka kami tidak bisa bertemu dengan mama di alam sana dan justru malah kami yang akan masuk ke neraka karena tindakan konyol yang Na lakukan. Maka dari itu, maaf Na dan adik-adik tidak mau menyusul mama dan bapak ke alam sana dan Na juga tidak akan pernah membakar rumah ini karena ini adalah harta berharga bapak dan mama yang harus kami bertiga jaga. Kami bertiga masih harus menjalani hidup ini dengan meneruskan ajaran-ajaran hidup mama dan bapak yang berarti bagi kami.”
“Mama dan bapak. Kami tahu khususnya Dyah tahu bahwa mama dan bapak masih ingin sekali mendidik dan membimbing Dyah menjadi orang yang mandiri. Semasa mama masih hidup dan bapak sudah tiada, mama sudah mengajari Dyah beragam hal mulai dari membuat kue, memasak makanan, mencuci pakaian, dan sebagainya. Mungkin interaksi sosial khususnya di jalan raya, Dyah masih canggung dan kikuk. Bahkan kalau ada sesuatu yang tidak sesuai keinginan atau mood-nya Dyah maka semua akan berantakan. Namun, itu tantangan bagi Na dan Aya untuk itu. Bahkan itu juga tantangan bagi Dyah agar bisa menjadi orang yang mandiri. Mungkin Na ingin mengajak Dyah berolahraga dan bela diri seperti karate atau pencak silat. Maka dari itu, kuatkan kami bertiga mulai dari sekarang hingga seterusnya.”
“Mama. Na tahu semasa mama hidup mama punya cita-cita. Pertama, ingin nyekar ke makam eyang di Yogya. Kedua, ingin menghias wastra di merajan alit Puri Sidan dan memberikan babi guling/panggang di Puri Sidan. Mohon sertai kami bertiga agar cita-cita mama ini terwujud supaya mama semakin nyaman di alam sana bersama bapak, kedua orang tua mama, dan kedua mertua mama.”