Saya sedang membaca buku berjudul “Apa yang Kita Pikirkan Ketika Kita Sendirian”. Pengarang buku ini adalah Desi Anwar, seorang jurnalis wanita yang terkemuka dan senior di negara saya, Indonesia. Saya sudah membaca 3/4 dari buku ini. Di buku ini Desi membahas tentang “Kematian” dan “Berlatih Mati”. Kata “mati”, sebuah kata yang menakutkan bagi entitas makhluk hidup termasuk saya. Saya berharap agar saya tidak pernah mati, tidak pernah menua, tidak pernah sakit, tetap sehat dan bugar hingga 1000 tahun. Namun, kematian tidak pernah lepas dari kehidupan. Itu adalah sebuah kodrat dan kepastian yang mutlak bagi setiap insan yang hidup pada akhirnya akan mati. Pertanyaannya, kita mau mati seperti apa? Bisakah kita menentukan kematian kita sendiri?

Saya teringat dengan pernyataan Steve Jobs, pendiri Apple tentang kematian. Dia mengatakan bahwa setiap hari ia bangun dan melihat ke cermin, dia akan bergumam seperti ini “Jika ini adalah hari terakhir saya hidup di Bumi ini, kira-kira apa yang bisa saya lakukan atau kerjakan hari ini?”. Karena Steve adalah seorang yang total dan benar-benar fokus, saya yakin hal yang akan ia lakukan tentu benar-benar dikerjakan secara total dan walaupun hal yang ia lakukan itu kecil namun jika ia lakukan secara total maka dampaknya akan besar bagi sekitarnya bahkan dunia.

Walaupun Desi tidak membahas tentang Steve Jobs di tulisannya, saya menangkap apa yang telah diungkapkan oleh Desi dan Steve memiliki inti yang sama. Jangan sia-siakan hidup ini, kita tidak tahu kapan kita mati dan kita mati dengan cara seperti apa. Namun, jika saya mati nanti, saya ingin mati tersenyum. Tersenyum dalam arti bahwa beban-beban saya di dunia ini sudah saya tuntaskan dan lunasi, impian-impian yang saya inginkan telah saya capai. Kenapa saya memilih kata tersenyum? Karena saya sedang menonton anime berjudul Orb: On the Movements of the Earth.

Ini adalah serial kartun yang beradegan di abad ke-15 di belahan Eropa sana. Saat itu, kalangan di sana di penuhi paham bahwa Bumi adalah pusat dari tata surya dan semua planet atau benda di angkasa raya mengelilingi Bumi. Paham ini disebut geosentrisme. Saking fanatiknya paham ini, gereja di sana melarang ilmuwan untuk melakukan penelitian untuk membantah geosentrisme. Jika penelitian itu dilakukan maka itu sama saja menentang perintah Tuhan. Jika ada ilmuwan yang melakukannya maka mereka akan dihukum mati hidup-hidup. Namun, karena impian dan pemikiran manusia itu tidak terbendung, banyak gerakan bawah tanah yang dilakukan untuk membuktikan kebenaran apakah Bumi ini adalah pusat tata surya atau tidak? Jika tidak, lantas apa? Di masa sekarang, paham geosentrisme sudah digantikan oleh heliosentrisme. Heliosentrisme adalah paham yang mana Matahari adalah pusat dari tata surya dan semua planet atau benda di angkasa raya mengelilingi Matahari. Selama saya menonton anime ini, saya menemukan segelintir ilmuwan yang tersenyum karena mereka puas telah berhasil membuktikan bahwa Bumi bukanlah pusat tata surya dari penelitian-penelitian yang telah dilakukan. Walaupun mereka mati, mereka memiliki banyak cara untuk menitipkan ide pemikiran mereka untuk masa depan melalui tulisan-tulisan.

“Musuh kalian tangguh. Yang kalian lawan bukanlah aku. Juga bukan orang sesat. Tapi imajinasi dan rasa ingin tahu. Lawan kalian adalah kebenaran itu sendiri.” - Rafal, Orb: On the Movements of the Earth episode 3.

Epikuros juga berkata, “Saat kita ada, kematian tak ada; dan saat kematian ada, kita tak ada” - Rafal, Orb: On the Movements of the Earth episode 3.

Dan seperti kata Seneca, “Hidup itu panjang jika kita tahu cara memanfaatkannya.” - Rafal, Orb: On the Movements of the Earth episode 3.

Menurutku inspirasi mungkin lebih penting daripada masa hidup. Dihadapkan dengan pilihan ini, inspirasilah yang harus bertahan, bahkan jika harus korbankan nyawaku - Rafal, Orb: On the Movements of the Earth episode 3.

“Ini bukanlah akhir.”