Tidak.

Sangkalan

Saya adalah Warga Negara Indonesia. Saya bukan seseorang yang belajar ilmu hukum, tata negara, politik lewat jalur formal. Tulisan ini adalah murni opini pribadi saya.

Glosari

a quo artinya istilah dalam bahasa latin yang kira-kira berarti “tersebut”. Sering kita dengar dalam topik hukum. Misalnya, perkara a quo = perkara tersebut, perkara ini. Sumber: Apa arti “a quo” dari Quora.

bak basuluh matohari, cetho welo-welo artinya terang benderang sangat jelas.

Hak ingkar adalah hak seseorang yang diadili untuk mengajukan keberatan yang disertai dengan alasan terhadap seorang hakim yang mengadili perkaranya. Sumber: Hak Ingkar terhadap Hakim yang Mengadili Perkara dari Kepaniteraan Mahkamah Agung.

Intro

Selasa, 20 Agustus 2024, Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan dua putusan yaitu, Putusan 60/PUU-XXII/2024 dan Putusan 70/PUU-XXII/2024. Inti dari putusan nomor 60 adalah partai politik seperti PDI-P bisa mencalonkan pilihannya khususnya di DKI Jakarta dengan batas minimal memperoleh kursi sah 7,5%. Saya tidak ingin membahas putusan nomor 60 secara detail karena saya tidak tertarik dengan putusan ini. Perhatian saya tertuju pada putusan nomor 70 karena putusan ini bisa membatalkan anak ketiga dari Presiden RI periode 2019-2014 untuk menjadi cagub atau cawagub. Putusan ini diajukan oleh dua mahasiswa yaitu A. Fahrur Rozi dari program studi Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Anthony Lee dari Podomoro University. Putusan ini berisi syarat usia pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

Putusan 70/PUU-XXII/2024

Dokumen putusan dapat diunduh di: https://www.mkri.id/public/content/persidangan/putusan/putusan_mkri_10997_1724127749.pdf.

Halaman 12 pada bagian A. Ruang Lingkup Pasal yang Diuji berisi bunyi dari pasal 7 ayat (2) huruf e di UU Nomor 10 Tahun 2016:

e. berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, serta 25 (dua puluh lima) untuk Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota;

Halaman 13 pada bagian C. Alasan Permohonan Provisi, pada poin nomor 4 sampai 7 menjelaskan pertentangan antara putusan Mahkamah Agung (MA) nomor 23 P/HUM/2024 dengan pasal 7 ayat (2) huruf e di UU Nomor 10 Tahun 2016:

  1. Bahwa Pasal 7 ayat (2) huruf e UU 10/2016 telah diterjemahkan dengan penafsiran yang baru. Pasal a quo telah mengalami pergeseran tafsir yang mulanya “terhitung sejak penetepan pasangan calon” sebagaimana termuat pada Pasal 4 ayat (1) huruf d PKPU 9/2020 menjadi “terhitung sejak pelantikan pasangan calon terpilih” melalui putusan MA Nomor 23 P/HUM/2024.
  1. Bahwa untuk melaksanakan Putusan MA Nomor 23 P/HUM/2024, KPU telah menerbitkan Peraturan KPU No. 8 Tahun 2024 (PKPU 8/2023) untuk mengakomodir calon kepala daerah yang belum berusia genap 30 tahun (Calon Gubernur dan Wakil Gubernur) dan 25 tahun (Calon Bupati dan Wakil Bupati serta Calon Walikota dan Wakil Walikota) pada saat penetapan pasangan calon, tetapi genap usianya saat penetapan pasangan calon terpilih.
  1. Bahwa padahal, ketentuan norma yang memuat pemaknaan baru tersebut mengakibatkan penyelenggaraan Pilkada tidak demokratis. Pasalnya, perubahan tersebut dilakukan ketika tahapan penyerahan dokumen syarat dukungan pasangan calon perseorangan (8 Mei s/d 12 Mei 2024) serta verifikasi administrasi dokumen syarat dukungan calon perseorangan (13 Mei s/d 2 Juni 2024) sudah berlangsung (vide Lampiran I PKPU 8/2024).
  1. Bahwa ketentuan pemaknaan baru tersebut akan diterapkan pada Pilkada 2024 di mana proses tahapan demi tahapan sudah berlangsung, dalam batas penalaran yang wajar dapat dipastikan calon perseorangan tidak dapat merasakan adanya perubahan mekanisme penghitungan syarat minimal usia “terhitung sejak pelantikan pasangan calon terpilih” (Bukti P.7).

Halaman 15 pada bagian Hak Ingkar, pada poin 14 dan 15 menjelaskan bahwa putusan MA secara langsung dan tidak langsung menguntungkan pihak tertentu, yakni Kaesang Pangarep, putra ketiga dari Presiden Republik Indonesia periode 2019-2024.

  1. Bahwa dalam kaitannya dengan permohonan a quo, para Pemohon melihat bahwa terdapat satu fakta yang tidak dapat dielakkan yaitu, Pasal 7 ayat (2) huruf e Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 dengan penafsiran “terhitung sejak pelantikan pasangan calon terpilih”, terkait langsung atau tidak langsung dengan kepentingan, keinginan dan tujuan dari pihak tertentu (Sdr. Kaesang Pangarep) untuk mencalonkan diri sebagai Calon Gubernur atau Wakil Gubernur pada Pilkada Serentak tahun 2024 mendatang.
  1. Bahwa Sdr. Kaesang Pangarep yang lahir pada 25 Desember 1994 atau berusia 29 Tahun 8 Bulan 28 hari (terhitung per 22 September 2024) sejatinya belum memenuhi syarat batas usia minimum 30 Tahun untuk menjadi Calon Gubernur atau Wakil Gubernur manakala Pasal 7 ayat (2) huruf e Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 ditafsirkan “terhitung sejak penetapan calon” dimana penetapan pasangan calon kepala daerah sendiri diagendakan pada tanggal 22 September 2024.

Halaman 32 pada bagian IV. Petitum Dalam Pokok Permohonan, para pemohon meminta agar:

  1. Mengabulkan permohonan Para Pemohon untuk seluruhnya;
  1. Menyatakan Pasal 7 ayat (2) huruf e Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk Calon Gubernur dan Wakil Gubernur dan 25 (dua puluh lima) tahun untuk Calon Bupati dan Wakil Bupati atau Calon Walikota dan Wakil Walikota terhitung sejak penetapan Pasangan Calon”;

Saya memberi cetak tebal pada kalimat akhir di poin nomor 2 karena itulah isi paling penting dari tuntutan para pemohon.

Halaman 39 pada bagian Dalam Pokok Permohonan, pada poin 3.17 menjelaskan bahwa kalimat akhir yang diajukan oleh para pemohon tidak perlu ditambahkan pada Pasal 7 ayat (2) huruf e UU 10/2016. Alasannya adalah Pasal 7 ayat (2) huruf e UU 10/2016 merupakan norma yang sudah jelas, terang-benderang, bak basuluh matohari, cetho welo-welo, sehingga terhadapnya tidak dapat dan tidak perlu diberikan atau ditambahkan makna lain atau berbeda selain dari yang dipertimbangkan dalam putusan a quo, yaitu persyaratan dimaksud harus dipenuhi pada proses pencalonan yang bermuara pada penetapan calon.

[3.17] Menimbang bahwa setelah Mahkamah mempertimbangkan secara utuh dan komprehensif berdasarkan pada pendekatan historis, sistematis, praktik selama ini, dan perbandingan, Pasal 7 ayat (2) huruf e UU 10/2016 merupakan norma yang sudah jelas, terang-benderang, bak basuluh matohari, cetho welo-welo, sehingga terhadapnya tidak dapat dan tidak perlu diberikan atau ditambahkan makna lain atau berbeda selain dari yang dipertimbangkan dalam putusan a quo, yaitu persyaratan dimaksud harus dipenuhi pada proses pencalonan yang bermuara pada penetapan calon. Dalam batas penalaran yang wajar, menambahkan pemaknaan baru pada Pasal 7 ayat (2) huruf e UU 10/2016, termasuk seperti yang dimohonkan para Pemohon, justru akan memosisikan norma a quo menjadi berbeda sendiri (anomali) di antara semua norma dalam lingkup persyaratan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah. Bilamana terhadap norma Pasal 7 ayat (2) huruf e UU 10/2016 ditambahkan makna seperti yang dimohonkan para Pemohon, norma lain yang berada dalam rumpun syarat calon berpotensi dimaknai tidak harus dipenuhi saat pendaftaran, penelitian, dan penetapan sebagai calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah. Kalau kondisi demikian terjadi, pemaknaan baru dimaksud potensial menimbulkan ketidakpastian hukum terhadap syarat lain yang diatur dalam Pasal 7 ayat (2) UU 10/2016. Artinya, pemaknaan tersebut tidak sejalan dengan jaminan kepastian hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.

[3.18] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas telah ternyata norma Pasal 7 ayat (2) huruf e UU 10/2016 yang mengatur mengenai syarat minimum usia calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah telah memberikan kepastian hukum yang adil sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, bukan seperti yang didalilkan oleh para Pemohon. Dengan demikian, dalil-dalil para Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.

[3.19] Menimbang bahwa terhadap hal-hal selain dan selebihnya tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dinilai tidak ada relevansinya.

Dari beberapa poin yang saya rangkum di atas, saya memperoleh pemahaman bahwa kamu bisa mencalonkan diri sebagai calon gubernur atau calon wakil gubernur saat kamu berusia minimal 30 tahun, kamu bisa mencalonkan diri sebagai calon bupati atau calon wakil bupati, calon walikota saat berusia minimal 25 tahun. Secara terang-benderang, bak basuluh matohari, cetho welo-welo: saat kamu mencalonkan diri bukan saat kamu dilantik! Kamu yakin sekali bakal menang! 😜

Apa Pilihan Kaesang?

Hasil putusan 70 yang terang-benderang, bak basuluh matohari, cetho welo-welo hanya memberikan pilihan bagi Kaesang untuk bisa mencalonkan diri sebagai bupati atau wakil bupati atau walikota. Kaesang tidak bisa mencalonkan diri sebagai gubernur atau wakil gubernur karena belum mencapai usia minimal 30 tahun.

Prediksi 2029

Prediksi bisa salah atau benar.

Jika Kaesang berhasil menjadi walikota atau bupati atau wakil bupati maka di tahun 2029 peluang Kaesang menjadi calon wakil presiden akan besar.

Kenapa tidak menjadi calon presiden? Ehem, kakak Kaesang, Gibran sudah pasti akan mencalonkan diri sebagai calon presiden di tahun 2029.

Kenapa kamu langsung menyebutkan opsi calon wakil presiden untuk Kaesang? Mestinya kamu sebutkan opsi bagi Kaesang menjadi calon gubernur atau calon wakil gubernur. Saya mempunyai firasat bahwa Kaesang akan mengikuti jejak kakaknya. Saat tahun 2023, Gibran langsung naik tangga secara ekstrim dari walikota menjadi calon wakil presiden hingga berhasil menjadi wakil presiden. Jadi, tidak menutup kemungkinan Kaesang akan melakukan hal serupa.

Saya khawatir dengan kondisi negara kedepannya bila hal ini terjadi. Apalagi kedua putra Presiden periode 2019 - 2024 ini memiliki pengalaman politik yang minim dan tidak mau meniti karir politik secara bertahap. Gibran dari Walikota Solo tiba-tiba naik tangga ekstrim menjadi wakil presiden dan ia pernah mengatakan ke Rocky Gerung bahwa ia malas belajar di sekolah PDI-P dan berkeinginan menjadi anak muda biasa saja. Kaesang dalam beberapa hari langsung menjadi ketua partai dan mengaku tidak tahu era orba seperti apa.

Sikap-sikap tersebut membuat saya khawatir dengan kondisi negara ini. Semestinya seorang pemimpin yang berkarir di dunia politik memiliki perilaku seperti membaca buku dan memiliki pengalaman luas. Ambil contoh pemimpin seperti Prabowo, Anies, Ahok, Gita Wirjawan, Susilo Bambang Yudhoyono, BJ. Habibie, Gusdur. Mereka membaca buku dan berdiskusi dengan lawan bicara tentang isi topik sebuah buku. Secara tidak langsung akan menambah wawasan dan sikap kearifan untuk mengelola negara.

Saya akan membuka rahasia kecil. Saya adalah pemilih dan pendukung Jokowi sebagai presiden periode 2014-2019 dan 2019-2024. Saat itu, saya dan mungkin sebagian besar masyarakat benar-benar merindukan sosok presiden yang berasal dari rakyat bukan elit dan benar-benar dekat dengan rakyat. Saat itu saya berpikir Jokowi adalah orangnya. Tetapi, ternyata tidak. Jokowi memanfaatkan kekuasaannya secara brutal menjelang masa akhirnya sebagai seorang presiden. Salah bentuknya yang terlihat kasat mata adalah mengacak-acak konstitusi dan demokrasi. Dari sini saya belajar bahwa menjadi seorang pemimpin tidaklah cukup berasal dari rakyat dan benar-benar dekat dari rakyat. Pemimpin juga harus memiliki sikap politik yang matang, rajin membaca buku, dan sikap enough is enough when you’re near to retired.